Oleh : Muhammad Sulthan Amani
Aku
adalah anak sebatang kara yang tinggal dengan Orang tua yang sangat sibuk
dengan segala pekerjaannya. Teman-teman menganggap bahwa aku adalah seorang
anak manja yang selalu mendapatkan kemewahan dari Orang tua, tetapi aku selalu
mengabaikan apapun yang dikatakan mereka mengenai kepribadian diriku. Aku akui
memang, Ayah dan Ibuku adalah seorang pekerja keras yang setiap detik hidupnya
dihabiskan untuk pekerjaan—Ayahku adalah seorang direktur di Perusahaan
Telekomunikasi terbesar di kota dan Ibuku adalah seorang wanita karir yang
memiliki jabatan strategis di perusahaan entah apa jabatan yang ia miliki.
Menurutku,
Hidup dalam cengkraman pekerjaan merupakan sebuah ketidakadilan hidup yang amat
mengerikan, Kita dibuat tergerus akan kepentingan yang terus-menerus datang
menghampiri dalam bentuk keuntungan pribadi maupun perusahaan. Aku agak bingung
kelak nanti ingin menjadi seperti apa dan bagaimana, tetapi banyak
teman-temanku menginginkan dirinya menjadi Sukses. Kehidupan menjadi sangat
sempit sekali jikalau hanya memikirkan tentang kesuksesan semata, dilain hal
juga aku bingung sukses itu seperti apa dan bagaimana.
Di
suatu minggu pagi, Ayah waktu itu libur begitupun aku—Ia mengajakku pergi ke
kedai kopi dengan mobil Fortunernya.
Aku sedikit heran tumben sekali Ayah mengajakku pergi berjalan-jalan untuk
menyantap segelas kopi di sebuah kedai kopi, ia tetap menyetir mobilnya tanpa
mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya sedangkan aku masih keheranan. Sesampainya
di kedai kopi, Ayah langsung mengajakku turun dan akupun mengikutinya. Kedai
itu terlihat amat mewah—tertata rapi mejanya serta ramahnya pelayanan disana.
Aku tidak terlalu suka kopi pahit, akupun memesan kopi susu dengan Es di
dalamnya sedangkan Ayah memesan kopi hangat yang kelihatannya itu seperti kopi
yang pahit.
“Bagaimana
kuliah mu, Nak?” Ayah memulai seraya menyantap kopinya.
“Baik,
Yah. Tidak ada kendala”
“Syukurlah,
kalau begitu”
Kembali
Ayah menyantap kopinya tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, kemudian aku
memulai perbincangan hangat dengan menanyakan pekerjaannya dan Ia menjawabnya
dengan hangat seperti ia sangat menunggu-nunggu aku bertanya demikian. Aku
makin terheran-heran, mengapa ia saat ini tidak seperti biasanya yang sangat sibuk
dan tidak bersahabat, melainkan hari ini sangat bersahabat dan tidak
memunculkan sedikitpun raut wajah akan kesibukannya. Aku pun kembali terdiam
dan menyantap kopi dingin yang telah Ku pesan.
“Ayah
menginginkan kamu setelah lulus kuliah nanti menjadi bagian dari Perusahaan
ayah dan ayah akan berikan kamu jabatan strategis dalam perusahaan nanti,
Bagaimana?”
Seketika
Aku terkejut mendengarnya, seakan Ayah menawarkan sesuatu yang sangat menarik
untuk orang lain mungkin dan menurutku ini sangat mengejutkan, karena aku tidak
ingin seperti Ayah yang tercengkram dalam kesibukan pekerjaan—karena aku ingin
banyak waktu untuk keluargaku. Akupun masih terdiam dan Ayah terlihat seperti
menunggu jawaban dariku—sepertinya Ayah merasa percaya diri dengan jawaban apa
yang akan dirinya terima dariku nanti, karena menurutnya ia tahu apa yang
terbaik untuk anaknya.
“Aku
tidak bisa, Yah. Aku tidak ingin menjadi seorang yang hanya menyibukan dirinya
untuk pekerjaan, aku ingin ada untuk keluargaku”.
Terlihat
Ayah merasa tersindir dengan kata-kata yang aku sampaikan dan kelihatan ingin
marah dengan anaknya tetapi ia tahu ini sedang di tempat umum, tidak pantas
seorang Ayah memarahi anaknya ditempat umum seperti kedai kopi ini. Ia langsung
berdiri dan Pergi meninggalkanku seorang diri di kedai kopi mewah tersebut dan
aku masih heran dengan sikap Ayah yang sangat menginginkan anaknya menjadi
penerusnya dalam perusahaan.
Akupun
pergi meninggalkan kedai kopi itu dan berjalan menyusuri jalanan kota seorang
diri dan pergi ke Tengah kota. Di tengah kota banyak sekali pedagang kaki lima
yang menjual aneka ragam makanan dan barang-barang unik yang dijual di pinggir
jalan kota. Di sana aku sambangi ada tukang martabak yang sedang melayani
banyaknya pelanggan untuk membeli martabaknya, ia terlihat sangat senang
melayani orang-orang tersebut walau memang terlihat ribet dan sulit untuk melayani banyaknya pelanggan. Mungkin
martabaknya memiliki cita rasa yang sangat mengugah selera, sehingga para
pelanggan banyak menyambanginya—aku berniat untuk membeli martabaknya dan akan
ku makan dirumah bersama keluargaku nanti. Karena masih banyaknya pelanggan,
aku menunggu hingga semua orang pergi meninggalkan pedagang tersebut.
Hari
sudah mulai siang, pelanggan pun berangsur sepi dan akupun menghampiri pedagang
martabak itu untuk membeli martabaknya dan akan ku bawa pulang kerumah, mungkin
ini akan meluluhkan hati Ayah akan sikapku yang menyindirnya tadi karena ku
tahu Ayah suka martabak manis.
“Mas,
Martabak manis satu ya..”
“Wah
iyaa Mas, kebetulan banget mas adonannya tinggal sedikit. Mungkin pas ini untuk
mas yaa.. maaf sebelumnya, Mas..”
“Iya
Nggak papa, Mas”
Mendengar
perkataan itu, aku sangat terkejut karena adonannya tinggal sedikit padahal
masih siang hari belum malam hari. Aku sedikit penasaran dengan penghasilannya
selama sehari dan bagaimana perasaannya selama ia berdagang martabak setiap
harinya begini. Ia pun memasak martabaknya dengan hati-hati tanpa penuh
kekesalan diraut mukanya walau sudah setengah hari berdagang dan keringatan
sudah bercucuran ia tetap menjalankan kegiatannya sebagai perdagang.
“Maaf,
Mas. Kalau boleh tanya, Penghasilannya per hari berapa, Mas?”
“Kalau
penghasilan nggak tentu mas, biasanya kalau sepi bisa 600ribu/hari tapi kalau
ramai bisa 900ribu/hari, Mas”
Akupun
tercengang dalam diam, bayangkan 600ribu/hari kalau sepi hanya untuk seorang
pedagang martabak dan jika dikalikan sebulan bisa lebih dari 3 Juta hanya untuk
seorang pedagang, tetapi aku juga harus mengakui bahwa setiap pedagang memiliki
nasib yang berbeda-beda. Aku rasa pedagang adalah salah satu bukti kesuksesan
seseorang, namun aku sendiri masih bingung akan definisi sukses seperti apa...
Aihh..
“Bagaimana
perasaan mas setelah bertahun-tahun menjadi pedagang martabak begini?” tanyaku
kembali kepadanya yang masih menaruh toping dari martabaknya
Pedagang
itu tertawa mendengar pertanyaanku dan aku pun keheranan.
“Mengapa
ketawa, Mas?”
“Ya,
kalau jadi pedagang martabak mah saya hanya cari bahan-bahan, nongkrong, dan
cari tempat mangkal, Mas.”
Sekiranya
aku diperbolehkan oleh orang tuaku untuk menjadi pedagang, aku akan memilihnya
dan tinggal dirumah sederhana untuk istri dan anak-anakku nanti. Menurutku,
inilah kesuksesan sebenarnya yang harus diperoleh orang banyak, bukan
menyibukan diri dalam cengkraman pekerjaan sebagai seorang pegawai. Ia pun
selesai membuat martabaknya untuk kemudian aku bawa pulang nanti, aromanya
sangat nikmat sekali tidak sabar rasanya aku menyantapnya bersama Ayah dan
Ibuku dirumah nanti. Aku berikan uangku padanya dan ia memberikan martabaknya
padaku—Aku pergi meninggalkan pedagang martabak itu dan kemudian menunggu
angkutan umum dipinggir jalan untuk segera pulang kerumah.
Angkutan
umum pun datang, aku menaikinya penuh kehati-hatian. Rumahku tidak jauh dari
tengah kota, jadi hanya cukup sekali naik angkutan umum langsung sampai di
depan komplek tempat dimana aku tinggal. Mobil ini berjalan cukup cepat
sehingga aku harus berpegangan dengan besi di dekat jendela sambil
mempertahankan martabakku agar tidak jatuh di mobil. Sampailah aku di depan
komplek dan turunlah aku dari angkutan umum untuk segera pulang ke rumah,
perjalanan cukup melelahkan sehingga aku ingin cepat sekali pulang kerumah.
Seketika
aku terhenyak melihat tulisan yang berada di depan rumahku yang menuliskan;
“Rumah ini telah disita KPK”, aku teringat daritadi sepanjang perjalanan aku
tidak pernah melihat telepon genggamku, mungkin ada sesuatu kabar yang belum
aku ketahui tentang Orang tuaku. Setelah aku cek handphoneku, ada pesan dari Ibuku yang mengabarkan; kalau Ayah
terjerat kasus korupsi di Perusahaannya dan Ibu sekarang ada dirumah temannya
untuk beberapa waktu.
Aku
tahu rumah Teman Ibuku dimana dan aku kembali pergi dengan martabakku untuk
pergi kerumah Teman Ibuku, aku sedikit kecewa dengan perilaku ayahku yang telah
mencorengkan nama keluarga dan tidak
memberikan contoh yang baik terhadap anaknya. Kemudian, pertanyaan itu muncul
kembali mengenai kesuksesan—Kesuksesan seperti apakah yang sebenarnya? Pertama,
apakah seperti Ayahku yang memiliki jabatan prestisius dalam perusahaan dan
memiliki kesibukan akan kepentingan yang sangat banyak? Atau, Yang Kedua,
Apakah seperti Pedagang martabak yang tidak mempunyai jabatan apapun tetapi
memiliki kesederhanaan dan mempunyai kemerdekaan akan berkarya lebih banyak?
Aih!! Jadi, Apa itu Sukses?!!
Komentar
Posting Komentar